Cerita Pendek tentang Ceritaku

Ibu merapikan pakaianku untuk berkemas dalam beberapa tas. Besok pagi-pagi aku akan dijemput seorang makelar untuk mengantarku kepada juragan  di ibu kota. Anak gadis yang baru saja menamatkan SMP ini tak punya pilihan lain selain menerima tawaran menjadi babu oleh makelar yang sudah diterima mamakku. Namaku Rianti Kasih Ibu. Malam ini akan menjadi malam terakhir sebelum aku mengadu nasib di Jakarta. Aku memandang lekuk wajah kusut mamakku yang tertidur. Bagiku amarah mamakku tidak ada bedanya dengan tangisannya. Sebagai seorang ibu yang membesarkan dua anak gadis sendirian setelah bapak meninggal saat melaut di pesisir. Itu cerita kuno yang akau dapatkan dari beberapa cerita yang mengenal mamakku.
Mamak sudah mengirimkan kakak perempuanku kepada seorang makelar. Hanya setahun sekali saat lebaran kakak pulang mengunjungi aku dan mamak. Selebihnya, menitipkan uang hasil kerjanya pada makelar untuk membayar sekolah SMP-ku. Terimakasih kak Rara, sudah bertahan hingga meluluskan SMP. Kini aku menantang batinku bahwa saat wali kelasku menyatakan nilaiku masuk lima besar saat kelulusan. Aku merasa seakan lemas dan tak ada berartinya. Aku harus mendapatkan uang di usiaku, karena kak Rara akan menikah. Hal ini sudah dipikiranku sejak lama, nenekku mantan pembantu rumah tangga, mamakku juga mantan pembantu rumah tangga, kakakku sudah akan pensiun jadi pembantu karena menerima lamaran laki-laki dari sebrang kampung. Maka, sudah dapat aku perkirakan tentang jadi babu ini. Mamakku sudah pesan kepada Mbk Jemprik sang makelar pembantu rumah tangga di kampung, untuk mencarikan aku calon juragan terbaik.
“Bisakah aku menghentikan riwayat menjadi babu ini?”batinku berbisik. Jika aku tidak menghentikannya maka kemungkinan besar anak-anakku kelak mungkin juga akan menjadi babu sepertiku.
Malam ini aku tidak nyenyak tidur memikirkan masa depanku yang tak karuan. Setidaknya saat ini aku mesti menerima pekerjaan babu ini, untuk menggantikan peran kakakku yang pensiun. Sambil waktu berlalu untuk mencari jalan keluar dari pekerjaan ini.
“Baiklah Rianti pergilah ke Jakarta kumpulkan uang dan kembali pulang untuk mendaftar SMA. Kamu bisa, karena kamu sedikit beruntung kamu bukan anak pertama seperti kakakmu yang mempunyai adik yang memelas. Kamu si gadis bungsu yang punya kesempatan.’’
“Mbakyu, jangan khawatir anak mbakyu ini beruntung, Pak Yoel itu begitu mudah memberi bonus untuk pegawai. Inem sudah 10 tahun disana. Kalau juragannya tidak baik tidak mungkin betah. Pekerjaan di rumah Pak Yoel ini aku simpankan baik-baik khusus untuk Rianti lho Mbakyu!’’
“Iya, saya percaya sama jenengan, Rara juga jenengan yang bawa juga, dan dapatkan kerja. Semoga Rianti seperti kakaknya juga, betahan.” Mamakku bercengkrama dengan Mbak Jemprik sembari aku mengecek kembali barang-barang yang ingin aku bawa. Aku mendengarkan percakapan mereka dari kamar.
“Dulu kata Inem ada pegawai yang dikuliahkan juragannya. Nanti kalau Rianti disukai, bisa jadi disekolahkan juga, Mbakyu,”Mbak Jemprik menjelaskan.
“Aamiin,”Mamak mulai berharap.
Aku keluar dari kamar dengan membawa tas-tas keluar. Bertatapan dengan Mamak melihat matanya yang mengerut. Aku menyalaminya dan berpamitan.
“Rianti berangkat dulu, Mak? Mamak baik-baik di rumah sendiri apalagi kakak masih sebulan pulangnya ke rumah.’’
“Jangan khawatirkan Mamak, cukup jaga dirimu sendiri. Tabunglah uangmu untuk dirimu sendiri.Hati-hati di perjalanan.’’
            Mbak Jemprik menyalami emakku juga, sambil memberikan tinggalan untuk emakku, seperti biasa yang dilakukan. Dulu ketika membawa kakaku juga begitu. Mbk Jemprik sang makelar babu itu mendapatkan uang dari juragan yang membutuhkan pembantu di rumahnya. Sebagian disisihkan bagi orang tua yang melepaskan anak perempuannya untuk jadi babu ke kota. Tidak hanya aku dan kakakku yang sudah dikirim menjadi babu oleh Mbk Jemprik. Sudah menjadi pamor di desa, bahwa anak perempuan mudah mencari pekerjaan asal tidak pilih-pilih, tidak seperti laki-laki mesti harus sekolah minimal SMA bisa melamar di pabrik. Orang desa menganggap mempunyai anak perempuan sebuah keberuntungan karena cukup menamatkan SMP bisa kerja jadi babu yang akan dibantu oleh Mbak Jemprik sebagai perantaranya. Bahkan, ada beberapa anak sudah dipesankan oleh ibunya untuk dicarikan tempat oleh Mbk Jemprik. Seperti emakku, sudah pesan dicarikan juragan yang baik dan lomo saat membawa kakakku, untuk diriku. Padahal waktu itu aku masih duduk di bangku SD.
            Aku naik bis travel langganan Mbak Jemprik. Semua biaya keberangkatan ditanggung Mbak Jemprik. Dari dalam bis aku melihat dari luar beberapa tetangga melihatku dan melambaikan tangan untukku. Aku membalas dengan senyuman saja. Mereka seakan memberikan selamat atas pekerjaan ini.
            “Nanti jika ada masalah jangan ragu untuk telpon aku yo?’’
               ‘’Inggih Mbk.’’
‘’Bekerja disana baik-baik. Kamu yang paling utama mengantar anak juragan ke sekolah TK. Sudah ada satu pembantu di rumahnya bagian masak. Kalau kamu hanya mengantar, menunggu, sampai sekolahnya bubar.Gampang tow!’’jelas Mbak Jembrik.
‘’Iya Mbk,”.
Aku hanya menjawab inggih.., iya dengan semua nasihat-nasihat yang diberikan Mbak Jembrik.
‘’Kalau kamu nanti sudah akrab dengan juragan kamu bilang ingin sekolah lagi. Siapa tau kamu bisa disekolahin tahun depan. Karna saya dapat info juragan kamu ini sudah pernah nyekolahin pegawainya juga. Mamakmu tahu kalau kamu masih pengen sekolah SMA. Tapi lihatlah, mamakmu itu luar biasa sudah membesarkan kalian berdua sendiri. Nama Juraganmu nanti Pak Yoel, beliau seorang pendeta, dosen juga dan istrinya dokter. Anaknya sekitra 4 tahun. Juragamu ini sudah sangat membutuhkan pembantu dari sejak 3 bulan yang lalu. Aku sudah janji sama mamakmu untuk mencarikan juragan yang baik untukmu sejak kamu masih SD. Jadi aku tidak memberikan pekerjaan ini kepada yang lain Nduk? Calon juraganmu ini lho, sudah kasih duit lumayan untuk pean pembantu. Wong pembantune yang lama itu sudah betah 10 tahun juga aku yang mencarikan. Jadi jangan takut, karna ada Mbk Inem ono kancone.’’
“Inggih Mbk, saya akan bekerja dengan baik.”
            Sehari semalam perjalanan ke ibu kota. Perutku berkali-kali mengeluarkan muntahan. Mesti aku sudah minum obat anti mabuk. Namun ini pertama kali perjalanan jauh, perutku meronta-ronta di sepanjang jalan ditambah dengan persaan batinku yang sebenarnya menolak untuk pergi. Namun ada harapan sedikit yang disampaikan oleh Mbk jemprik, bahwa sang juragan ini berhati baik boleh jadi jika pekerjaan bagus aku bisa disekolahkan.
            ‘’Rianti, bangun-bangun. Sudah sampai.’’
Aku turun pas di depan sebuah gerbang rumah. Mbk Jemprik berusaha menyapa pemilik rumah dengan membunyi-bunyikan pagar gerbang besi. Aku melihat sekililing, pas di depan rumah Bapak Yoel yang kata mbk Jeprik adalah seorang pendeta terdapat bangunan masjid. Hilir mudik orang-orang membersihkan masjid pada  hari Jumat pagi ini. Beberapa orang memperhatikan kami berdua, karena suara mbk Jemprik memanggil pemilik rumah bergitu lantang. Ditambah dua tas besar masih dengan ransel dan 3 kardus besar berisi oleh-oleh bawaaan mbk Jeprik yaito telo. Makanan kesukaan juragan adalah ketela goreng.
“Teng....teng....tengg. Assalamualaikum wr.wb. Assalamualaikum... Assalamualaikum,’’ Mbak Jemprik berusaha untuk menyapa.
“Waalaikumsalam terdengar suaran sambil membuka pintu dengan membawa sapu.’’
‘’Alhamdulillah, Mbk Jemprik. Inem.’’
Keduanya berpeluk, dan mereka mengobrolkan tantang kabar desa. Seperti biasa Mbk Inem ingin nitip uang buat anak-anaknya yang sekolah SD ditinggalkan bersama mbahnya di kampung untuk bekerja di sini. Mereka sudah hampir 3 tahunan endak ketemu.
‘’Kenalkan ya, ini Rianti.”
‘’O ....ini anaknya, cantik. Sudah aku siapkan kamar kamu. Bapak Ibu dan Yohana sedang pergi ke rumah Neneknya di BSD, tapi tadi sudah telpon diminta menunggu sambil istirahat. Berangkat ke rumah Neneknya sudah sejak kemarin sore, setelah Yohana pulang sekolah.’’
‘’Ayo Rianti, tak anter ke kamar dulu? Kita akan tidur sekamar .’’
Aku termangu saat masuk rumah disekelingi ruang tamu hingga masuk ke ruang tengah, begitu banyak buku-buku tertata rapi dalam almari berkaca. Aku tak dapat mengjitung jumlah lemari berkaca yang ada semuanya berisi buku. Setelah naik ke lantai dua banyak kardus-kardus dan semuanya juga berisi buku-buku. Sekilas aku lihat ada beberapa buku puisi yang sering aku bacakan di depan kelas yaitu puisi karya dari Chairil Anwar.
‘’Ini sprindbed kamu? Sudah aku rapikan dengan sprai baru juga. Semoga betah dan mulai nanti malam aku duwe kanco kamar. Istirahat dulu boleh, akan tak siapkan minum untuk kalian berdua dulu di dapur. ‘’
‘’Inggih mbk.’’
Aku berbicara lirih karena merasa capek, mengauntuk, dan juga penasaran apakah aku betah tinggal di kamar baruku ini. Kasurnya lesehan, beralas lantai namun memang lebih bersih daripada kamarku sendiri di desa. Meskipun aku sekamar dengan Mbk Inem yang cukup lama sudah bekerja disini, namun bednya masing-masing. Mbk Inem yang sudah lama di Jakarta juga tidak kehilangan logat kampungnya. Aku mengganti pakaianku dan bersih-bersih badanku kemudian turun.
‘’Aku titip Rianti yaw? Kamu kan tahu ini pertama kalinya dia kerja.’’
‘’Iya Mbk Jemprik gak perlu khawatirlah, kan aku juga dengan ibunya Rianti neng kampung.’’
‘’Rianti ayo sarapan dulu?’’
Kami menyantap masakan mbk Inem dengan kerupuk yang disiapkan Mamak dari desa. Kita banya bercerita tentang desa, tentang pekerjaan, tentang sikap bapak dan ibu sebagai juragan di rumah ini hingga aktivitas harian yang harus aku kerjakan.
‘’Ibu kamu Rianti ahlinya kalau membuat keropak Singkong ini!Jadi Rianti kerja kamu nganter Yohana sekolah pakai bajaj langganan.Yang masak aku, nanti kalau bersih-bersih kita kerjakan bersama. Ibu Inggar itu dokter di rumah sakit UKI dan Bapak kadang sudah ke kantor pagi-pagi pulangnya sampai malam. Jadi kita sama Yohana saja setiap hari di rumah. Dan kalau sabtu-minggu biasanya kamu nanti mungkin jalan-jalan sama Yohana. Kalau saya malah di rumah saja.’’
‘’Inggih Mbk, saya dibantu kerja yang baik ya mbk.’’
Aku hanya bisa menyakan semua celotehan Mbak Jemprik dan Mbak Inem. Sudah 2 jam kami menunggu akhirnya juragan datang. Mbk jemprik menyampaikan pidato ala bahasa Jawa kromo pada pak Yoel. Kemudian dari kejauhan aku lihat menerima amplop. Mbk Jemprik menghitungnya.
‘’Rianti aku pulang dulu ya? Kamu baik-baik ini buat tambahan pegangan kamu selama disini. Kan kamu belum menerima gaji.’’
‘’Matursuwun mbk.’’
‘’Hati-hati kalian berdua.’’
Aku dan mbk Inem mengantarkan mbk Jemprik ke depan rumah, Mbk Jemprik sudah begitu hafal transprotasi Jakarta. Dia akan ke terminal naik bajai dari depan rumah. Aku melihat hingga bajaj mbk Jemprik tidak terlihat lagi. Aku benar-benar ditinggalkan disini oleh mbk Jemprik. Batinku.
            Aku sedang menjemur cucian di lantai atap. Atap rumah ini digunakan untuk menjemur pakaian. Aku menebak-nebak mungkin sebagian orang yang tinggal di Jakarta juga demikian. Melihat dari atap rumah-rumah penduduk yang seakan tiada ruang lagi untuk bergerak seperti di kampung halaman. Aku menghela napas panjang bahwa tidak terasa sudah setengah tahun berjalan aku tinggal di Jakarta bersama mbk Inem, pak Yoel, Bu Inggar dan Yohana. Aku sengaja tak mengambil gajiku sejak bulan ke-2 agar tidak kuhabiskan dan akan kuambil saat aku pulang. Aku masih konsisten untuk mendaftar SMA dengan begitu riwayat pekerjaan pembantu rumah tangga akan berakhir di keluargaku. Setiap pagi saat aku mengantar Yohana ke sekolahnya aku juga melihat banyak anak seuasiaku menggunakan seragam SMA. Seharusnya aku tidak duduk di depan sekolah yang kadang terdengar pembantu-pembantu lain mengobrolkan soal gaji, rumah tangga, dan tentang juragannya masing-masing. Saat berkumpul dengan pembantu lain aku memilih untuk duduk sendiri membawa sebuah buka yang sudah aku siapkan malamnya. Ada banyak buku di rumah Pak Yoel sehingga aku bisa tetap belajar meski belum sekolah lagi.
            “Rianti dipanggil ibu...!, panggil Mbak Inem dengan nada agak tinggi.Mbk Inem membuka pintu atap untuk memberitahuku.
Secangkir kopi perfecto kesukaan ibu Inggar aku suguhkan di mejanya.
‘’Duduklah Rianti!’’
‘’Baik Bu.’’
              ‘’Kata Inem kamu pengen sekolah lagi.’’
‘’Jika ada rezeki begitu bu pada tahun ajaran baru nanti.’’
‘’Baik, Bapak sudah setuju akan menyekolahkan kamu SMK.’’
‘’Betulkan Bu?, ‘’tanyaku begitu penasaran.
‘’Iya. Hasil pekerjaanmu bagus, dan Yohana juga sudah mulai terbiasa denganmu kamu bisa sekolah lagi. Jadi kamu bisa menyiapkan untuk sesekali membaca buku.’’
‘’Jika tahun depan saya sekolah lalu Yohana sudah masuk SD, siapa yang akan mengantarkan sekolah Bu?’’
‘’Mungkin saya akan mencari sopir atau berangkat bersama dengan Bapaknya atau kamu bisa membawa sepeda motor mengantar Yohana dulu baru kamu ke sekolah. Masih ibu pikirkan. Mbok Inem juga ingin istirahat dulu melihat anak-anaknya di kampung. Mungkin nanti kamu akan lebih banyak pekerjaan. Coba kamu juga latihan memasak menu makanan kita sehari-hari ya?’’
‘’Iya bu, saya tidak masalah sambil bekerja. Insyaallah saya dapat membagi waktu dengan baik meskipun sekolah.’’
‘’Ok. Cukup.’’  
Hatiku berdebar-debar sungguuh apakah aku benar akan sekolah di Jakarta. Kalau aku sekolah disini dengan bantuan juragan. Berarti aku akan disini sampai lulus yaitu 3 tahun lagi. Tapi bagiku tidak mengapa, aku yakin kok bisa melewatin semua ini.
‘’Mbok Inem akan berhenti dan pulang kampung?’’
‘’Baru rencana Rianti.’’
‘’Mengapa tidak memberitahuku?’’
‘’Aku tidak mau kamu kepikiran, lagipula kamu sudah terbiasa dengan rumah ini. Apa yang belum kamu tahu coba. Kamu juga bisa memasak dengan baik. Dan pasti gaji kamu akan dinaikkan saat Mbok pergi.
‘’Mengapa Mbok Inem berhenti ?’’
‘’Nenek anak-anak sudah sakit-sakitan Rianti, saya dikabarin Mbk Jemprik. Saya punya rencana buka warung di desa sudah ada tabungan. Bu Inggar juga akan menambahin sedikit modal buat di kampung. Bapak anak-anak juga minta saya pulang dan kerja seadanya di kampung.’’
‘’Pesanku sama kamu, asalkan kamu sabar tinggallah kamu sama bapak dan ibu disini. Kamu sekolah dan bekerja disini . Aku sudah 11 tahun ikut juragan dan semuanya baik-baik. Meski ada masalah ya biasa masalah kecil namanya ikut orang. Bu Inggar dokter, ya wajar saja jika ibu ingin semua hal harus benar-benar bersih. Insyaalah jika kamu sabar kamu bisa lulus sekolah disini. Kalau kamu ikut saya pulang ibu kamu hanya akan memesankan juragan baru untukmu kepada mbk Jemprik. Kerja di rumahan seperti ini dimana-mana sama, namanya babu tetap saja babu. Belum tentu jika kamu pindah ke juragan yang lain kamu dapat juragan sebaik bapak ibu disini. Dengan kamu sekolah SMK kamu bisa mendapatkan pekerjaan yang bukan babu lagi Rianti. ‘’
‘’Mbk Anti................................Mbk Aanti..................!’’
Teriakan Yohana, membuat semua kaget. Aku bergegas menemuinya dan mengakhiri pembicaraan penting dengan Mbak Inem. Banyak hal yang ada di kepalaku, tentang kesiapanku ditinggal Mbak Inem. Semua pekerjaan harus aku selesaikan sendiri sampai akhirnya ada pembantu baru yang akan datang menggantikan Mbok Inem.
“Iya Yohana? gambarku dimana?di tas gak ada.....’’
‘’Masak sudah dicari dengan benar?Coba mbk yang mencari, Oh bukankah dikumpulkan di Sekolah?Kan sama bu Guru akan dinilai kemarin gambarnya yang terakhir itu.’’
“Lalu gimana...’’
Terlihat mata  Yohana mulai memerah jangan sampai menangis karena sepertinya Ibu dan Bapak sama-sama sibuk dengan laptopnya masing-masing. Tangisan Yohana akan membaut juragan terganggu. Aku bergegas mengambil buku mewarnai .
‘’Gambar ini belum kamu selesaikan, Ini buah nanasnya belum ...buah apelnya belum ..’’
Kemudian Yohana mulai mengacak-ngacak seluruh peralatan mewarnai mulai dari pensil warna, craon, spidol, ...
‘’Alhamdulillah untung tidak jadi nangis, ‘’batinku. Yohana adalah anak yang jarang rewel sebenarnya hanya jika ada barangnya yang hilang dia bisa menangis hingga berjam-jam sampai mendapatkan sesuatu yang dianggapnya menarik.
‘’Mbk ini kotaknya?,’’ tanya Yohana.
‘’Kotaknya ditulis huruf nama gambarnya.Apel.Aku mengeja nya A-P-E-L.’’
‘’Mbk seperti bu Guruku, ‘’kata Yohana sambil menulis dengan pensil warnanya.
Yohana memang anak yang cerdas, anak 5 tahun itu sudah bisa menulis abjad huruf dengan baik. Ditambah bahasa Inggrisnya pasti lebih baik darioada aku. Sekolahnya saja sekolah internasional meskipun baru TK. Namun aku jadi mulai berpikir apakah aku bisa menjadi guru ?
Mbok Inem berkemas-kemas malam ini, pulangnya ke kampung dipercepat dari rencana. Sudah ditelpon-telpon kampung halaman bahwa ibunya masuk rumah sakit sudah seminggu. Anak-anak bahkan makan ditempat Mbk Jemprik karena bapaknya menunggu di rumah sakit.
Aku hanya bisa berdiam, pada satu sisi aku kehilangan teman di kamar ini. Pada sisi lain tentu saja, Mbk Inem harus pulang mengurus anak-anak dan melihat ibunya di rumah sakit. Hampir 11 tahun sudah mbk Inem jadi pembantu di rumah ini.
‘’Rianti, kamu ingin titip uang endak buat ibukmu? Biasanya orang tua akan senang kalau dapat titipan uang dari anaknya. Inggih Mbk saya nitip. Kamu baik-baik ya disini semua menu makanan kamu sudah bisa. Kalau kamu kerepotan surah tukang sayur langganan kita itu mengantar sayurnya kesini tiap sore. Kamu kasih tambahan sepuluh ribu dia sudah mau, malamnya kamu sudah racik buat menu besok. Sehingga kamu pagi-pagi tidak kerepotan saat kamu mandiin Yohana juga.’’
‘’Iya Mbk Inem.’’
‘’Hidup itu memang berat Rianti, yang menang adalah yang kuat. Kuatlah kamu disini Insyaallah kamu bisa jadi orang sukses saat pulang. Wong kamu itu bocah pinter di SMP bisa mengalahkan anaknya pak Lurah di kampung tow? Kamu SMA lagi, nanti kerja lagi kamu bisa kuliah jadi orang hebat agar ibukku yang janda itu jadi olokan di kampung bangga karena punya kamu.’’
‘’Iya Mbak Inem akan saya betahkan kerja disini sampai aku lulus SMK. Saya janji, saya akan menangkan hidup saya,’’kataku dalam batin sambil diriku bercermin dalam kaca almari.


Komentar