Membaca Al-Quran
Adab-adab membaca
Al-Quran
1. Membaca ta’awwudz
(a’udzu billahi minasysyaithanirrajim).
Allah ta’alaa
berfirman:
(فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ
فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ) (النحل:98)
“Apabila kamu membaca
al-Qur’an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang
terkutuk.” (Qs. 16:98)
2. Membaca Al-Quran
dengan tartil (sesuai dengan kaidah-kaidah tajwid).
Allah ta’alaa
berfirman:
(وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلاً)
(المزمل:4)
“Dan bacalah al-Qur’an
itu dengan tartil.” (Qs. 73:4)
3. Hendaklah dalam
keadaan suci.
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
إني كرهت أن أذكر الله إلا
على طهر
“Sungguh aku membenci
jika aku berdzikir kepada Allah dalam keadaan tidak suci.” (HR. Abu Dawud, dan
dishahihkan oleh Syeikh Al-Albany)
4. Membersihkan mulut
sebelum membaca Al-Quran dengan siwak atau sikat gigi atau yang lain.
Berkata Ali bin Abi
Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata:
إن أفواهكم طرق للقرآن .
فطيبوها بالسواك
“Sesungguhnya
mulut-mulut kalian adalah jalan-jalan Al-Quran, maka wangikanlah mulut-mulut
kalian dengan siwak.” (Atsar ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dan dishahihkan
oleh Syeikh Al-Albany di Shahih Ibnu Majah 1/110-111).
5. Memilih tempat yang
bersih.
6. Hendaknya merenungi
apa yang terkandung di dalam Al-Quran.
Allah ta’ala berfirman:
(أَفَلا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ
وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلافاً كَثِيراً) (النساء:82)
“Maka apakah mereka
tidak memperhatikan Alquran? Kalau kiranya Alquran itu bukan dari sisi Allah,
tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (Qs. 4:82)
7. Memohon rahmat Allah
jika melewati ayat-ayat rahmat dan meminta perlindungan dari kejelekan ketika
melewati ayat-ayat adzab.
Di dalam hadist
Hudzaifah disebutkan bahwa suatu saat beliau shalat malam bersama Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian beliau menceritakan bagaimana Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca Al-Quran ketika shalat:
إذا مر بآية فيها تسبيح سبح
وإذا مر بسؤال سأل وإذا مر بتعوذ تعوذ
“Jika melewati ayat
yang di dalamnya ada tasbih (penyucian kepada Allah) maka beliau bertasbih, dan
jika melewati ayat tentang permintaan maka beliau meminta, dan jika melewati
ayat tentang memohon perlindungan maka beliau memohon perlindungan.” (HR. Muslim)
8. Tidak membaca
Al-Quran dalam keadaan mengantuk.
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
إذا قام أحدكم من الليل فاستعجم
القرآن على لسانه فلم يدر ما يقول فليضطجع
“Kalau salah seorang
dari kalian shalat malam kemudian lisannya tidak bisa membaca Al-Quran dengan
baik (karena mengantuk) dan tidak tahu apa yang dikatakan maka hendaklah dia
berbaring.” (HR. Muslim)
(Lihat pembahasan lebih
luas di At-Tibyan fii Aadaab Hamalatil Quran, An-Nawawy, dan Al-Itqan fii
‘Ulumil Quran, As-Suyuthi (1/276-299), Al-Burhan fii ‘Ulumil Quran, Az-Zarkasyi
(1/449-480).
Kedua:
Para ulama berbeda
pendapat tentang apakah wanita yang haid boleh membaca Al-Quran atau tidak? Dan
yang kuat –wallahu a’lam- diperbolehkan bagi wanita yang sedang haid untuk
membaca Al-Quran karena tidak adanya dalil yang shahih yang melarang.
Bahkan dalil
menunjukkan bahwa wanita yang haid boleh membaca Al-Quran, diantaranya sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha yang
akan melakukan umrah akan tetapi datang haid:
ثم حجي واصنعي ما يصنع الحاج
غير أن لا تطوفي بالبيت ولا تصلي
“Kemudian berhajilah,
dan lakukan apa yang dilakukan oleh orang yang berhaji kecuali thawaf dan
shalat.” (HR.Al-Bukhary dan Muslim, dari Jabir bin Abdillah)
Berkata Syeikh
Al-Albany:
فيه دليل على جواز قراءة
الحائض للقرآن لأنها بلا ريب من أفضل أعمال الحج وقد أباح لها أعمال الحاج كلها سوى
الطواف والصلاة ولو كان يحرم عليها التلاوة أيضا لبين لها كما بين لها حكم الصلاة بل
التلاوة أولى بالبيان لأنه لا نص على تحريمها عليها ولا إجماع بخلاف الصلاة فإذا نهاها
عنها وسكت عن التلاوة دل ذلك على جوازها لها لأنه تأخير البيان عن وقت الحاجة لا يجوز
كما هو مقرر في علم الأصول وهذا بين لا يخفى والحمد لله
“Hadist ini menunjukkan
bolehnya wanita yang haid membaca Al-Quran, karena membaca Al-Quran termasuk
amalan yang paling utama dalam ibadah haji, dan nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah membolehkan bagi Aisyah semua amalan kecuali thawaf dan shalat,
dan seandainya haram baginya membaca Al-Quran tentunya akan beliau terangkan
sebagaimana beliau menerangkan hukum shalat (ketika haid), bahkan hukum membaca
Al-Quran (ketika haid) lebih berhak untuk diterangkan karena tidak adanya nash
dan ijma’ yang mengharamkan, berbeda dengan hukum shalat (ketika haid). Kalau
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang Aisyah dari shalat (ketika haid)
dan tidak berbicara tentang hukum membaca Al-Quran (ketika haid) ini menunjukkan
bahwa membaca Al-Quran ketika haid diperbolehkan, karena mengakhirkan
keterangan ketika diperlukan tidak diperbolehkan, sebagaimana hal ini
ditetapkan dalam ilmu ushul fiqh, dan ini jelas tidak samar lagi, walhamdu
lillah.” (Hajjatun Nabi hal:69).
Namun jika orang yang
berhadats kecil dan wanita haid ingin membaca Al-Quran maka dilarang menyentuh
mushhaf atau bagian dari mushhaf, dan ini adalah pendapat empat madzhab,
Hanafiyyah (Al-Mabsuth 3/152), Malikiyyah (Mukhtashar Al-Khalil hal: 17-18),
Syafi’iyyah (Al-Majmu’ 2/67), Hanabilah (Al-Mughny 1/137).
Mereka berdalil dengan
firman Allah ta’alaa:
لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ
(الواقعة: 79)
“Tidak menyentuhnya
kecuali orang-orang yang suci.”
Sebagian ulama
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mushaf yang kita dilarang menyentuhnya
adalah termasuk kulitnya/sampulnya karena dia masih menempel. Adapun memegang
mushhaf dengan sesuatu yang tidak menempel dengan mushhaf (seperti kaos tangan
dan yang sejenisnya) maka diperbolehkan.
Berkata Syeikh Bin Baz:
يجوز للحائض والنفساء قراءة
القرآن في أصح قولي العلماء ؛ لعدم ثبوت ما يدل على النهي عن ذلك بدون مس المصحف، ولهما
أن يمسكاه بحائل كثوب طاهر ونحوه، وهكذا الورقة التي كتب فيها القرآن عند الحاجة إلى
ذلك
“Boleh bagi wanita haid
dan nifas untuk membaca Al-Quran menurut pendapat yang lebih shahih dari 2
pendapat ulama, karena tidak ada dalil yang melarang, namun tidak boleh
menyentuh mushhaf, dan boleh memegangnya dengan penghalang seperti kain yang
bersih atau selainnya, dan boleh juga memegang kertas yang ada tulisan Al-Quran
(dengan menggunakan penghalang) ketika diperlukan” (Fatawa Syeikh Bin Baz
24/344).
Ketiga:
Yang lebih utama adalah
membaca Al-Quran dalam keadaan suci, dan boleh membacanya dalam keadaan tidak
suci karena hadats kecil.
Dan ini adalah
kesepakatan para ulama.
Berkata Imam An-Nawawy:
أجمع المسلمون على جواز قراءة
القرآن للمحدث الحدث الاصغر والأفضل أن يتوضأ لها
“Kaum muslimin telah
bersepakat atas bolehnya membaca Al-Quran untuk orang yang tidak suci karena
hadats kecil, dan yang lebih utama hendaknya dia berwudhu.” (Al-Majmu’,
An-Nawawy 2/163).
Diantara dalil yang
menunjukan bolehnya membaca Al-Quran tanpa berwudhu adalah hadist Ibnu Abbas
ketika beliau bermalam di rumah bibinya Maimunah radhiyallahu ‘anha (istri
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), beliau berkata:
فنام رسول الله صلى الله
عليه و سلم حتى إذا انتصف الليل أو قبله بقليل أو بعده بقليل استيقظ رسول الله صلى
الله عليه و سلم فجلس يمسح النوم عن وجهه بيده ثم قرأ العشر الخواتم من سورة آل عمران
“Maka Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidur sampai ketika tiba tengah malam, atau
sebelumnya atau sesudahnya, beliau bangun kemudian duduk dan mengusap muka
dengan tangan beliau supaya tidak mengantuk, kemudian membaca sepuluh ayat
terakhir dari surat Ali Imran.” (HR.Al-Bukhary)
Di dalam hadist ini
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca Al-Quran setelah bangun tidur,
sebelum beliau berwudhu.
Imam Al-Bukhary telah
meletakkan hadist ini di beberapa bab di dalam kitab beliau (Shahih Al-Bukhary)
diantaranya di bawah bab:
باب قراءة القرآن بعد الحدث
وغيره
“Bab Membaca Al-Quran
setelah hadats dan selainnya”
Namun sekali lagi,
tidak boleh bagi orang yang berhadats kecil menyentuh mushaf secara langsung.
Wallahu a’lam.
Ustadz Abdullah Roy,
Lc.
Sumber:
tanyajawabagamaislam.blogspot.com
Komentar